Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) Abdul Mu’ti baru-baru ini mengumumkan kembalinya sistem penjurusan (IPA, IPS, Bahasa) di Sekolah Menengah Atas (SMA). Keputusan ini memicu perdebatan hangat di kalangan pendidik, orang tua, dan siswa, mengingat sistem ini sempat dihapus dalam implementasi Kurikulum Merdeka. Langkah ini dianggap sebagai perubahan signifikan yang akan mempengaruhi arah pendidikan siswa SMA di Indonesia.
Sistem penjurusan, yang membagi siswa berdasarkan minat dan bakat mereka ke dalam jurusan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA), Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS), dan Bahasa, sebelumnya dianggap kurang fleksibel dan membatasi eksplorasi siswa terhadap berbagai bidang ilmu. Kurikulum Merdeka, yang mengedepankan pembelajaran berbasis proyek dan pilihan mata pelajaran yang lebih luas, bertujuan untuk memberikan siswa kesempatan untuk mengembangkan minat dan bakat mereka secara holistik.
Namun, Mendikdasmen Abdul Mu’ti berargumen bahwa kembalinya sistem penjurusan didasarkan pada kebutuhan untuk mempersiapkan siswa dengan lebih baik dalam menghadapi pendidikan tinggi dan dunia kerja. Penjurusan dianggap dapat memberikan fokus yang lebih jelas pada bidang studi yang relevan dengan minat dan karir siswa di masa depan. Selain itu, penjurusan diharapkan dapat meningkatkan kualitas pembelajaran di SMA, dengan guru yang lebih fokus pada bidang keahlian mereka.
Keputusan ini tentu saja memunculkan berbagai reaksi. Beberapa pihak menyambut baik kembalinya sistem penjurusan, terutama mereka yang berpendapat bahwa sistem ini lebih efektif dalam mempersiapkan siswa untuk pendidikan tinggi dan karir. Mereka percaya bahwa penjurusan memberikan struktur yang lebih jelas dan memungkinkan siswa untuk mengembangkan keahlian mendalam dalam bidang tertentu.
Namun, tidak sedikit pula yang mengkritik keputusan ini. Mereka berpendapat bahwa kembalinya penjurusan akan membatasi eksplorasi siswa terhadap berbagai bidang ilmu dan menghambat pengembangan keterampilan lintas disiplin. Mereka khawatir bahwa sistem ini akan kembali menciptakan stigma dan diskriminasi antara jurusan, serta membatasi kesempatan siswa untuk mengembangkan potensi mereka secara maksimal.
Implementasi kembali sistem penjurusan tentu saja memerlukan persiapan yang matang. Sekolah perlu memastikan ketersediaan guru yang kompeten di setiap jurusan, serta fasilitas dan sumber daya yang memadai. Kurikulum juga perlu disesuaikan agar tetap relevan dengan perkembangan zaman dan kebutuhan siswa.